Keistimewaan pada Bahasa Melayu

Keistimewaan pada Bahasa Melayu

2013marathon – Bahasa Melayu sudah lama dikenal masyarakat dunia. Bahasa asli Melayu memiliki peran khusus sebagai bahasa penghubung di Nusantara.

 

“Artinya bahasa melayu menempati posisi yang sangat penting bagi bangsa kita jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata Abdul Malik, seorang budayawan yang juga penulis sejarah Riau. pulau. . , di Tanjungpinang,

 

Menurutnya, dalam konteks Indonesia dan beberapa negara modern yang kemudian didirikan di Asia Tenggara, bahasa Melayu membimbing, mengabdi, mendorong, mendorong dan mendukung kemajuan bangsa dan negara tersebut.

 

Memang karena perannya yang istimewa, bangsa asing menganggapnya sebagai bahasa internasional yang diakui dunia (Collins 2011, xvii; Mees 1957, 16; & Ophuijsen 1910).

 

Keistimewaan ini, kata dia, karena sebarannya yang sangat luas di Asia, khususnya Asia Tenggara, menjadikannya salah satu dari lima bahasa dengan jumlah penutur terbanyak di dunia. Faktor yang paling menentukan dalam peran pentingnya adalah otoritasnya sebagai bahasa diplomatik utama dan satu-satunya yang digunakan oleh kerajaan-kerajaan tradisional Nusantara.

 

Raja-raja Nusantara di masa lalu sangat setia, hanya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa diplomasi, baik dalam hubungan diplomatik satu sama lain (penguasa nusantara) maupun dengan penguasa dan/atau pengusaha asing yang berasosiasi dengan mereka.

 

Sikap yang secara konsisten diterapkan dalam politik kerajaan-kerajaan Nusantara telah menghidupkan kembali bahasa Melayu di kalangan masyarakat dunia saat itu, termasuk di kalangan pemimpin bangsa asing yang berhubungan dengan penguasa lokal (nusantara).

 

Selama pendudukan nusantara, pemerintah kolonial Belanda berulang kali berusaha mengatasi kedudukan istimewa bahasa Melayu. Mereka ingin menggantinya dengan bahasa Belanda.

 

“Alasannya, jika masyarakat Indonesia menerima bahasa Belanda sebagai media komunikasi yang luas, maka penjajahan terhadap negara kita akan berlangsung lebih lama. Tapi apa jadinya?” ujar Abdul yang juga dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang.

 

 

Bahasa resmi

 

Ia menceritakan kepada saya bahwa pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah bahasa Jawa pada tahun 1849. Saat itu timbul pertanyaan, bahasa apa yang harus digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan.

 

Saat itu terjadi perbedaan pendapat di antara para pemimpin Belanda. Tentu kebanyakan dari mereka mengharapkan bahasa Belanda digunakan untuk pendidikan di Indonesia. Namun, Gubernur Jenderal Rochussen saat itu, yang berkuasa saat itu, sangat yakin bahwa pendidikan harus diberikan dalam bahasa Melayu. Karena bahasa Melayu telah menjadi alat komunikasi di seluruh kepulauan India (sekarang Indonesia).

https://www.teknogoo.com/keuangan/dewan-bahasa-dukungan-indonesia-meningkatkan-kemungkinan-bahasa-melayu-menjadi-bahasa-resmi-asean/

 

Oleh karena itu, jika terpaksa menggunakan bahasa Belanda, pengajaran tidak akan berlangsung efektif. Ada satu hal lagi yang akan menentukan perkembangan bahasa Melayu di Nusantara ini.

 

Bahkan di bawah pemerintahan kolonial Belanda, bahasa Melayu masih digunakan sebagai bahasa resmi di antara orang-orang Belanda dan raja-raja dan pemimpin-pemimpin rakyat saat itu. Dalam hal ini, Mees (1957, 16) menyimpulkan: “Dengan cara ini bahasa Melayu mempertahankan karakter internasionalnya dan meningkatkan kekuatan dan keluasannya dalam kedudukan khususnya.”

 

“Ketika pemerintah kolonial Belanda menetapkan bahasa pengantar pendidikan pribumi, Syair Abdul Muluk dari Raja Ali Haji Rahimahullah dikenal di seluruh nusantara dan dicetak ulang berkali-kali di Singapura (edisi pertama tahun 1946),” katanya.

 

Versi ilmiahnya dilengkapi dengan terjemahan bahasa Belanda dan pengantar oleh P.P. Roorda van Eysinga diterbitkan di Tijdschrift voor Neerlands Indie (1847). Syair Raja Ali Haji begitu berpengaruh sehingga menjadi bahan cerita teater rakyat yang disebut juga Dul Muluk di Palembang, Sumatera Selatan, tempat yang pernah menjadi pusat penyebaran bahasa Melayu Kuno dan Bangka-Belitung.

 

Fakta ini, katanya, menunjukkan bahwa bahasa Melayu Standar (Melayu Tinggi) Riau-Lingga telah menyebar dan disukai oleh seluruh penduduk nusantara. Di pihak pemerintah kolonial Belanda, mereka sudah memiliki model Melayu standar karya Raja Ali Haji, yaitu Syair Abdul Muluk (1846) dan Gurindam Dua Belas (1847).

 

Melihat kenyataan ini, pemerintah kolonial Belanda tidak punya pilihan selain menjadikan bahasa Melayu Riau-Lingga sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan yang mereka dirikan untuk masyarakat adat, termasuk di pulau Jawa.

 

Pada tahun 1855, pemerintah Hindia Belanda mengangkat von de Wall sebagai petugas bahasa. Ia ditugaskan untuk menyusun buku-buku tata bahasa Melayu, kamus Melayu-Belanda, dan kamus Belanda-Melayu. Penyusunan kamus bahasa Melayu-Belanda merupakan tugas yang sangat penting pada saat itu karena pemerintah Hindia Belanda mensyaratkan standar ejaan dan kosakata untuk pendidikan di kepulauan Hindia Belanda.

 

“Sehubungan dengan tugas ini, Von de Wall dikirim ke Kesultanan Riau-Lingga pada tahun 1857,” katanya.

 

Untuk menyelesaikan tugas ini, Von de Wall bekerja sama dengan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim. Ia tetap di Tanjungpinang sampai tahun 1860. Dua tahun kemudian, pada tanggal 14 Februari 1862, ia kembali ke Tanjungpinang.

 

Sejak itu, ia bolak-balik dari Batavia ke Tanjungpinang hingga tahun 1873 untuk menyelesaikan tugas dan belajar bahasa Melayu (Putten & Azhar 2006, 4-11).